Featured Post 1

Featured Post 3

Sabtu, 12 November 2011

Diposting oleh Aditya R.F


Pukul enam pagi. Udara masih sejuk. Matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya. Dan aku masih bergelut di tempat tidur. Dan itu semua dirusak oleh kakakku Nina. “Woi bangun lo! Gak mau sekolah ya?”
“Berisik! Masih libur tau!” balasku.
“Libur dari Hongkong! Ini hari pertama lo masuk SMA oneng,” ujar Nina sambil melenggang turun ke meja makan. Aku langsung terduduk dan buru-buru ngacir ke kamar mandi. Oh iya namaku Rully. Tiba dimeja makan seluruh keluargaku sudah duduk.
“Rul, matamu menggelap. Kamu belum berburu ya?” tanya Ibuku.
“Iya.”
“Kamu harus berburu hari ini,” ujar ayahku sambil mendongakkan kepala.
“Asal dia gak ikut bersamaku,” tunjukku ke arah Nina.
“Gue bertugas jagain lo anak kecil.”
“Sudahlah, kamu harus ditemani Nina. Jangan lupa pakai lensa kontakmu,” seru ibuku.
“Huh begini kalau jadi klan vampir terasing,” gumamku. Ayahku memandangku tajam sehingga membuatku cepat-cepat memakan roti dan meminum jus jeruk buatan ibuku.
“Rully kau tahu betapa sulitnya leluhurmu melepaskan diri dari kebiasaan meminum darah manusia secara rutin. Kamu seharusnya bersyukur,” ujar Ayahku.
“Tapi masa selalu ada yang ingin membunuhku setiap seratus meter sehingga mahluk ini,” tunjukku pada Nina, “Harus selalu ikut.”
“Rully kamu adalah keturunan laki-laki klan kita. Para tetua di dewan tentu ingin menghabisimu atau membawamu pergi,” jelas Ayahku.
“Tapi tetap saja Yah, masa vampir makan roti dan nasi. Minumnya air putih sama jus jeruk lagi,” ujarku.
“Lo mau sekolah apa mau debat sih? Tuh liat udah jam berapa!” teriak Nina.
“Eh gila udah jam segini!” aku bergegas menuju kamarku dan mengambil lensa kontak warna coklat gelap. Kalau kalian bertanya apa yang tadi aku debatkan dengan ayahku dan apa aku benar-benar Vampir, jawabannya ya.
Zaman sekarang para manusia mortal sudah termakan film Twilight tentang definisi seorang vampir. Kami memang Immortal tapi kami tumbuh selayaknya manusia normal. Hanya saja saat berusia dua puluh tahun, kami akan mengalami perlambatan dan pada usia dua puluh lima kami benr-benar tidak tumbuh lagi.
Vampir juga dapat memiliki keturunan. Tidak hanya dari manusia, tapi dari sesama vampir selama mereka berlawanan jenis kelamin. Kami butuh tidur. Setidaknya enam belas jam sehari. Dan hanya klan kami yang punya kebiasaan makan makanan manusia mortal.
Sejak dahulu Immortal World dikuasai oleh dua belas klan vampir terkuat yang disebut Dewan. Dan klan kami adalah salah satunya. Tapi sejak nenek buyutku, Lyna memiliki kebiasaan memakan makanan manusia mortal dan hanya minum darah sebulan sekali, para anggota dewan mulai memboikot semua anggota klan kami. Sebelum dikeluarkannya Lyna dari keanggotaan Dewan, ini adalah klan yang berkuasa berikut daerahnya. Di Yunani ada klan Mí̱nas. Italia diwakili Canino. Asia Timur dan Jepang diwakili Daiyamondo. Jerman punya klan Eroberer, seperti namanya klan ini adalah yang terkuat. Amerika dibagi dua, Utara sampai Kanada milik klan kami An'ya. Sedangkan Amerika Latin milik klan Relâmpago. Afrika milik klan Leeu. Inggris diambil alih Lycarus. Sedangkan Skotlandia milik Lysius. Sombra menguasai Spanyol. Anartika diwaliki Calestrio. Dan Mreža menguasai Makedonia.
 Bentuk pemboikotan klan An’ya antara lain, Lyna dikeluarkan dari keanggotaan Dewan, menginvasi wilayah klan kami, dan puncaknya adalah pembantaian  dua ratus anggota klan kami dalam pertempuran yang dikenal sebagai ‘Immortal Collison’.
Tapi tanpa sepengetahuan pasukan aliansi Dewan, kakekku Lusatir pindah ke Indonesia bersama anggota klan yang tersisa pada tahun 1856. Disana ayahku lahir. Dan pada tahun 1890 kakek beserta sebagian anggota yang lari melancarkan serangan sporadis ke wilayah pasukan aliansi di Amerika Serikat, namun gagal dan semuanya mati.
Sedangkan ayahku, Lusaros menikah dengan salah seorang anggota klan kami, Lyna pada tahun 1930. Sebagian anggota klan kami memanggilnya Lyna II karena ibuku begitu mirip dengan nenek buyutku. Nina baru lahir tahun 1989, karena pernikahan antara sesama vampir membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melahirkan seorang anak. Sedang aku lahir 1995.
Cukup untuk sejarah keluargaku dan kembali ke cerita. Nina mengantarku ke SMAN 51. Sebuah sekolah dekat dengan rumah kami. “Nah disini sekolah lo. Jangan nakal dan jangan terlalu narik perhatian, oke?” aku mengangguk. “Dan satu hal lagi. Jangan memancing perkelahian,” seru Nina.
“Iya, bawel.” Aku langsung berlari ke gerbang sekolah. Kepala sekolah mengadakan sebuah apel untuk menentukan kelas bagi kami siswa baru. Dan aku masuk kelas X-6 bersama Firdaus, temanku waktu SMP.
“Well, kita ini senior kalian. Nama gue Frans dan dia Bella,” ujar seorang senior laki-laki yang bertanggung jawab pada kelas kami.
“Halo kak Frans dan kak Bella!” seru kami serempak. Setelah basa-basi perkenalan, dimulailah acara ‘menyiksa junior’ bagi para senior. Ada yang disuruh nyanyi, nembak cewek, ngerayu kakak kelas yang kebetulan masuk buat bagiin buku panduan, sampai sulap. Aku hanya diam sambil menggertakan gigiku saat disuruh ngerayu kakak kelas, namanya ka Sonya.
“Eh Rul, coba lo rayu si Sonya sampai mau ngasih nomornya ke elo!” perintah kak Frans.
Ini senior enak banget hidupnya, Cuma nyuruh doang, batinku dalam hati. Dan aku mulai mengeluarkan jurus-jurus maut buat ngerayu si Sonya. Dengan kemampuan individu membaca hati, aku tahu dia sebenarnya sudah tertarik, tapi rada jual mahal dengan berkata ‘norak’ lah, ‘ketinggalan zaman’ dan lain-lain. Saking kesalnya dengan kelakuan senior ini, aku mengerahkan kemampuan klanku. Namanya Phase. Hanya dengan menatap mataku, dalam sekejap dia menyerahkan nomor Hape dan nama Facebooknya.
 “Kalo dapet anak baru jago futsal atau voli sih lumayan. Nah ini jago ngerayu,” ujar Bella sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya nyengir dan menunjukkan gigiku yang berkilat seperti silet. Dan para senior makin menggila saat kami dibagi ke dalam kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang. Aku sekelompok bersama Firdaus dan dua orang cewek. Yang satu bernama Putri Susanto Pertiwi, tapi anak-anak sepakat manggil dia PS atau PSP. Yang satu lagi namanya Putri juga, tapi beda nama depannya. Yang ini namanya Ajrina Putri.
Aku tersenyum saat mendengar kata hati Firdaus dan PS, mereka suka sama senior kami yang tadi. Sedang asyik-asyiknya mendengarkan, aku menyadari aku sama sekali tak mendengar pikiran atau hati Ajrina. Aku korek-korek kupingku. Setelah yakin tak mendapat masalah pendengaran, aku kembali konsentrasi untuk mendengarkan pikiran atau isi hati cewek ini. Namun yang terdengar justru pikiran dan isi hati seluruh sekolah!
Apa orang ini gak pernah mikir atau punya perasaan ya? Tanyaku dalam hati. Aku mencoba dengan tatapan mataku. Tak terjadi apa-apa. Dia malah balas menatapku sambil berkata, “Kenapa? Ada kotoran ya di wajah gue?”
“Eh, enggak kok,” jawabku. Firdaus dan PS hanya cekikikan melihatku jadi gugup. Semua kelebihanku tak pernah gagal sebelumnya. Bahkan sesama vampir sekalipun. Aku masih memikirkan hal itu saat Frans datang dan bertanya,
“Woi mana daun yang gue suruh buat cari?”
“Belum ketemu kak.”
“Setengah jam lagi. Kalo ga ketemu juga kalian dapet hukuman. Ngerti?”
“Ngerti kak!” setelah Frans pergi, kami mulai mencari lagi. Aku berdiri berdekatan dengan cewek aneh itu dan memberanikan diri bertanya.
“Hai, boleh kenalan?”
“Kan tadi udah,” jawab cewek itu dingin.
“Boleh gak nih?”
“Nama gue Ajrina,” jawabnya.
“Oke, Rully.”
“Puas?” tanya Ajrina. Aku menggeleng. “Apa lagi?”
“Alamat, nomor hp, nama Fb.”
“Nanya apa mau ngerampok mas?” sungutnya. Tapi dia tetap memberiku jawaban atas pertanyaanku tadi. Tanpa kusadari seseorang menatapku dari atas atap.
“Hehehe, An’ya di Indonesia. Claudius harus tahu,” bisik orang itu dan melebur ke dalam bayang-bayang. Aku mendongak karena baru mendapat firasat kehadiran.
“Mungkin cuma perasaan,” gumamku. Aku kembali menelusuri pohon-pohon di taman sekolah dan berhasil menemukan daun yang dimaksud.
“Hufft, akhirnya kelar juga,” seru PS sambil meluruskan kakinya.
“Yah, masih ada dua hari lagi siksaan ini kita terima,” sahut Ajrina. Aku mengangguk setuju.
“Eh Rul kakak lo udah punya pacar belom sih?” tanya Firdaus.
“Idih mau tau aja. Masih kecil Us,” jawabku.
“Biarin aja sih,” sahut PS. Kami benar-benar tertawa bahagia meski aku masih memikirkan tentang firasat kehadiran itu. Teka-teki mengenai firasat kehadiran itu terjawab saat aku akan berburu malam ini. Ayah dan ibuku ikut bersamaku dan Nina.
“Apa lo gak ngerasain firasat itu?”
“Ngerasain sih, tapi kenapa ayah sama ibu harus ikut?”
“Dia salah satu anggota klan Sombra,”
“Hah! Yang dari Spanyol itu?” Sombra dalam bahasa Spanyol artinya Bayang-bayang.
“Kalo hanya klan kecil ayah rasa kamu atau Nina bisa mengatasinya. Tapi anggota Sombra adalah malapetaka. Claudius pasti sudah tahu keberadaan kita.”
“Aku gak mau pindah lagi,” ujar Nina.
“Aku juga baru masuk SMA,” seruku.
“Kita tidak akan pindah. Jika mereka datang, kita akan selesaikan dengan kekuatan kita. Aku dan Rully masih punya hak atas salah satu singgasana Dewan,” ujar ayahku.
“Sayang, klan kita sudah lama terpecah karena pertarungan.”
“Tidak Lyna. An’ya akan selalu ada selama kita bisa mempertahankan garis keturunan kita,” bantah ayahku.
“Sudah deh, aku sudah merasakan siksaan siang tadi.” Aku beranjak dari kursiku. Meregangkan badanku dan melesat pergi.
“Anak kecil! Tungguin gue!” Nina segera melesat mengejarku. Ayah dan ibuku hanya mendengus sebelum ikut melesat bersama kami.
***
Sementara itu di sebuah istana tua di Selatan Kanada, para anggota Dewan mengadakan rapat darurat. Dua belas singgasana membentuk huruf U ditempati oleh masing-masing pemimpin klan. Claudius Eroberer menempati singgasana terbesar. Diapit oleh Erila Calestrio dan Giuseppe Canino. “Kau yakin tentang informasimu Leane?” tanya Claudius.
“Sangat yakin Claudius, sayang,” desah Leane Sombra.
“An’ya masih ada kita harus mencarinya Claudius.”
“Aku paham Gantro. Ya aku paham,” jawab Claudius pada Gantro Leeu.
“Jangan gegabah Claudius,” kali ini Stuart Lycarus yang bicara.
“Stuart benar, Claudius. Pergerakan besar-besaran akan memancing keingintahuan mortal,” Erila Calestrio memberi saran.
“Yukiko, aku minta pertanggungjawabanmu. Kenapa kau tak tahu An’ya ada di Indonesia?”
“Aku rasa geografimu mendapat nilai jelek Claudius. Wilayahku adalah Jepang dan Asia Timur. Sementara Indonesia berada di Asia Tenggara.”
“Dasar berlian payah,” gumam seorang pria di singgasana ujung. Daiyamondo dalam Bahasa jepang berarti berlian.
“Bisa tidak kau tidak bicara. Dasar bodoh,” tukas Yukiko.
“Hentikan itu Lysius, Daiyamondo!” perintah Claudius.
“Dasar klan bodoh,” desah Aleeite Mí̱nas. Semua anggota Dewan mulai terlibat cekcok. Hanya Claudius, Erila, dan Giuseppe yang tampak tak terpancing. Tiba-tiba Claudius meraung penuh amarah. Perapian dipojok meledak. Meninggalkan serpihan-serpihan.
“Berhenti! Kita disini membahas An’ya, bukan masa lalu kalian! Jika aku dengar cekcok lagi, aku tak segan-segan memusnahkan klan kalian!” suara Claudius masih meninggalkan nada marah. Dewan membisu. Tak ada yang berani mengeluarkan kata-kata.
“Claudius hal yang harus kau lakukan adalah menyiapkan mata-mata.”
“Aku tahu apa yang harus kulakukan, Erila!” bentak Claudius. “Yukiko, kirim salah satu klanmu ke Indonesia. Pastikan dia benar-benar An’ya!”
“Baik Claudius,” ujar Yukiko.
“Bubar!” Semua anggota dewan langsung meninggalkan ruang singgasana. Hanya Claudius yang tersisa.  An'ya Verdomme!” umpat Claudius. “Aku pasti menghabisimu An’ya. Eroberer akan membuktikan garisnya.”
***
Back to me!
Aku sudah sampai ke sekolah pagi ini. Guna menyelesaikan pr yang dikasih kak Frans kemarin. Si kecil Ajrina sudah tampak dimejanya. Lengkap dengan atribut MOS yang harus dibawa. Tapi ini gawat. Hanya ada kami berdua. Denyut nadinya. Detak jantungnya.  Semuanya seolah seperti dentang lonceng makan siang. Aku membeku.
Pendengaranku bisa mendengarnya. Suara desir lembut darah yang mengalir dikulit lehernya. Aku menelan ludah. Fantasiku makin liar. Cukup serangan cepat dan semuanya berakhir. Ya hanya satu serangan cepat. Aku melompat dan melekatkan peganganku di langit-langit. “Dia tak menyadari apa yang mengintainya,” bisikku.
Perlahan aku kendorkan peganganku. Dan aku melompat. Entah hanya keberuntungan atau refleksnya bagus, dia merunduk tepat saat aku menyerang. Hasilnya tubuhku menghantam dinding dan menghasilkan retak kecil. Dia menoleh dan berujar, “Loh, ngapain lo tiduran di bawah?”
“Sial, sakit tau,” gerutuku. Aku segera mengambil tempat di mejaku. “Lebih enak tidur aja,” gumamku sambil memejamkan mataku.  Aku bermimpi. Aku berada disebuah istana. Disekelilingku terjadi kelebat-kelebat pertempuran. Claudius Eroberer menyeringai padaku.
“Datang dan klaim takhtamu An’ya,” ujarnya. Aku teralihkan saat mendengar teriakan parau dari arah altar. Seorang gadis menderita karena kesakitan.
***
Bel pulang berdering. Aku menolak ajakan Firdaus buat pulang bareng. Entah kenapa aku masih ingin tinggal di sekolah. Ajrina berlari sangat cepat ke toilet perempuan karena sudah gak tahan lagi. Aku menangkap sekelebat gerakan yang masuk ke dalam toilet perempuan. Firasat kehadiranku berdering seperti alarm. Aku langsung melesat saat mendengar jeritan dari toilet.
Sebuah pemandangan mengerikan muncul di hadapanku saat aku sampai dipintu toilet!
Bersambung...

1 komentar:

Aulia Herdhyanti mengatakan...

Haha, bagus tuh mas! Lanjut! :D

Posting Komentar