Featured Post 1

Featured Post 3

Selasa, 22 November 2011

Diposting oleh Aditya R.F



Setelah kejadian LDKS aku semakin menyadari sesuatu tengah terjadi. Mortal yang memiliki kemampuan menahan Phase seperti Ajrina. An’ya muncul kembali. Ksatria suku Bulan yang masih ada. Dan berita dari ayahku benar-benar membuatku yakin ‘Immortal Collison 2’ akan terjadi. Ya, ayah menemukan lima An’ya di Jogja. Begitu juga ibu dan Fauziah. Mereka menemukan delapan An’ya di Bali. Lalu sisa-sisa suku Bulan juga bangkit.
Ayahku sering berkata mengenai Ritual kuno Varas, tapi aku tak tahu apa artinya. Aku sering tertidur dikelas karena harus berpatroli. Aku hanya mengenali beberapa An’ya yang baru karena mereka datang silih berganti. Ayah membuat rapat mengenai pemberontakan kami.
Hari ini aku ada janji untuk mengajari Ajrina main gitar. Aku bertemu dia ditaman. Sedsng asyik-asyiknya mengajari Ajrina main gitar, aku tersentak saat sebuah tangan dingin mencengkram bahuku. Aku langsung menarik Ajrina menjauh. Lambang kristal es tersulam di jaket yang dia kenakan. “Dewan.” Aku bersikap defensif. Tapi ini aneh. Firasat kehadiranku tak menyadarinya. Wanita itu menyeringai padaku.
“Jadi ini keturunan An’ya yang membuat Claudius ketakutan. Ya, aku menyadari auranya,” desah wanita itu.
“Si..siapa anda?”                                                                                                                           
“Erila Calestrio.”
“Antartika. Sang es abadi,” ujarku. Erila mengangguk puas.
“Aku suka julukan itu. Tapi aku kesini bukan untuk itu. Aku ada urusan dengan Lusaros,” kata Erila.
“Dengan ayah?” dia mengangguk lagi. “Ajrina, kayaknya latihannya udahan dulu deh. Ada sesuatu yang terjadi,” kataku.
“Oh oke. Thank’s ya Rul,” serunya. Dia berbalik dan tersenyum padaku. Aku segera mengajak Erila ke rumahku. Selama perjalanan aku bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan Erila.
“Ah, Lusaros,” desah Erila saat tiba dirumah kami. Ayahku menegang. Matanya menatap galak Erila.
“Erila. Lama tak jumpa. Bluring Auramu makin tajam,” seru ayahku.
“Aku kesini dengan damai. Claudius menyadari Valaras sudah cukup usia untuk ritual Varas. Aku tak ingin dia bertransformasi jadi sang Dracula. Kita harus menghentikannya.”
“Kau benar. Sekali dia berubah jadi sang Dracula maka Immortal World tidak akan seimbang dengan Mortal World,” kata ayahku.
“Hari ini, aku Erila Calestrio. Pemimpin para Calestrio bersumpah setia pada pewaris takhta ke-12, Lusaros Andraculus An’ya,” Erila berseru sambil berlutut.
“Kekuatan kita saat ini belum bisa mengalahkan pasukan Aliansi. Kita butuh banyak bantuan.”
“Seperti ksatria suku Bulan,” gumamku.
“Apa maksudmu?” sergah ayahku. Aku menceritakan kejadian waktu LDKS.
“Hmm... puteramu benar Lusaros. Serangan kejutan dari suku yang dianggap punah dapat menurunkan moral pasukan Aliansi.”
“Hanya ada satu werewolf. Kita butuh lebih dari satu,” ujar ayahku.
“Aku sendiri berasumsi ada lebih dari satu werewolf yang tersisa.” Sejak kedatangan Erila, suhu rumahku sudah seperti di Antartika. Sangat amat dingin.
Aku masih gemetaran saat tiba disekolah. Sambil menunggu Daus atau siapapun yang datang, aku memasang headsetku dan mulai mendengarkan lagu. Meski sudah tertutup headset, telingaku masih mendengar denting gitar dari ruang disebelah kelasku. Lebih tepatnya gudang. Aku menghentikan lagu Paramore yang tengah berkumandang.
“1...2...3...Good bye,” sebuah suara mengalun indah mengiringi denting gitar itu. Tubuhku menegang ketika melihat darah yang berceceran dilantai, dinding, dan pintu gudang. Aku mengintip ke dalam melalui jendela. Seorang wanita sedang asyik memetik gitarnya. Seorang siswa tampak bersandar dilutut wanita itu.
Siswa itu tak bergerak. Matanya membelalak seperti orang yang disengat  kalajengking. Dan dia tidak akan pernah hidup lagi. “Darah pemuda selalu manis. Kurasa kau setuju denganku An’ya?” ujar wanita itu. Petikan gitarnya makin cepat.
“Si..siapa kau?” tanpa sadar aku masuk ke dalam gudang.
“Oh ya kita belum kenalan. Aku Aleeite Mí̱nas, pemimpin klan Mí̱nas dari Yunani.”
“A..apa yang anda lakukan?”
“Berburu seperti biasa,” jawabnya ringan. Aleeite menjilat darah yang menetes dari mulutnya. Nada-nada gitarnya membuatku terpana. Wanita itu tersenyum dan mulai memainkan lagu yang kukenali sebagai lagu Demi Lovato yang berjudul  So Far So Great. Kakiku bergerak mendekatinya. Senyumnya mengembang, lagunya berubah menjadi lagu perlahan Taylor Swift berjudul Untouchable. “Mendekatlah An’ya. Aku takkan melukaimu.”
“Enak saja!” teriakku dan melepas pengaruh musik Aleeite. Dia tampak syok tapi cepat menguasai dirinya.
“Yah, itu memang hampir sama dengan Phase. Kau dilatih dengan baik An’ya,” pujinya. Matanya menyipit saat aku mendekatinya dengan waspada. Sekali lagi dia memetik gitarnya. Kali ini lagu yang sama sekali belum pernah kudengar. Cepat, liar, dan mempesona. Nada-nadanya seperti nyanyian para Dewa. Otakku membeku dan membiarkan kakiku melangkah sendiri. Aleeite memperlambat tempo permainannya, membuatku setengah sadar akan yang terjadi.
“Sialan kau Aleeite!”

“Éla se ména , O gennaíos .
stení̱ kai epitrépste mou na érchetai.
Tha gulp óla.”
Dia menyanyikan sebuah lagu dengan bahasa Yunani. Tapi suara ribut-ribut dikoridor membuyarkan segalanya. Aku tersadar apa yang terjadi. Aleeite tersenyum dan berkata, “Kita akan bertemu lagi An’ya.” Bersama sinar terang Aleeite menghilang. Meninggalkanku dengan tubuh siswa yang jadi korban musik Aleeite.
Firdaus masuk ke dalam gudang. “Lo yang melakukannya?”
“Bukan,” bantahku.
“Terus siapa?” tuntutnya.
“Aleeite. Bantu gue menyembunyikannya.”
“Ya udah.” Firdaus segera mengambil sebuah kardus dan memasukkan tubuhnya ke dalam kardus.
“Segel kardusnya biar gak berubah jadi vampir dan meninggalkan bau busuk.”
“Caranya?”
Firdaus membaca mantera yang cukup panjang dan menempelkan telapak tangannya kekardus. “Nanti pulang sekolah kita buang ini ke suatu tempat.” Aku mengangguk setuju.
Dewan makin serius tentang pemusnahan keluargaku. Dan aku harus bersiap dengan segalanya.

0 komentar:

Posting Komentar